Ibu marah tahu sama ide gila lo itu. Pasti sejak pulang sekolah ia terus berdebat dengan ibunya. Mau lo gue jadi gila? Lo tuh aneh-aneh aja, sih. Sekali ini ia benar-benar bingung dengan apa yang ada di pikiran Ditto.
Kenapa juga mesti pindah jurusan? Bukannya memang nilai-nilai Ditto sangat bagus di mata pelajaran IPA? Cowok itu walaupun badung dan sering bolos, tapi pintar dalam pelajaran. Pasti ia bisa kok bertahan di jurusan IPA yang njelimet itu pelajarannya. Tapi, kenapa Ditto ngotot untuk pindah jurusan?
Ibu tetep kekeuh Ditto tidak boleh pindah jurusan. Sedangkan Ditto tetap kekeuh pindah jurusan. Dua hari ini ia memang ikut belajar di kelas IPA. Namun sejak hari pertama pengumuman, ia langsung masuk ke ruang Bimbingan Konseling untuk mengajukan pindah jurusan. Awalnya para guru meragukannya. Selama ini, siapa juga yang mau pindah ke IPS? Akhirnya, di hari ketiga, Ditto resmi diizinkan pindah jurusan ke IPS. Namun sayangnya tidak sekelas dengan Ayu.
Walaupun pada akhirnya kelas mereka ternyata bersebelahan lagi. Keduanya berjalan menuju kantin sambil membicarakan resminya Ditto jadi anak IPS. Apalagi sebentar lagi mau pendaftaran anggota baru, pemilihan ketua OSIS baru, sama sertijab.
Nggak cocoklah gue di IPA. Bagaimanapun, sahabatnya ini benar-benar gila. Yah, kali ini Ayu tidak harus tahu alasan sebenarnya ia pindah jurusan. Kalau Ayu tahu…bisa jadi Ayu akan tahu tentang apa yang selama ini ia sembunyikan. Jangan hanya untuk dijadikan pacar. Jadikan dia teman hidupmu sampai maut memisahkan. Walaupun Ditto dikenal sebagai anak yang badung, tapi kemampuannya memimpin dan mendapatkan respek dari warga sekolah membuatnya cocok mendapatkan jabatan ketua OSIS.
Selain menjadi anggota band sekolah, menjadi ketua OSIS makin membuat fansnya membeludak. Ditto menggeleng. Malam Minggu ini Ayu dan Arman kembali menonton penampilan Ditto dan band-nya. Setelah putus dari Asa, Ditto tidak pernah benar-benar pacaran. Paling-paling hanya dekat dengan satu cewek kemudian beberapa saat setelahnya bubar.
Lalu berganti dengan cewek lain dan begitu seterusnya. Dan yang banyak jadi korban Ditto adalah junior mereka. Rupanya pesona ketua OSIS dan anak band benar- benar besar di mata mereka. Beda aja. Dia udah nggak kayak dulu lagi. Atau udah punya cewek lain. Ketika menoleh ke belakang Ditto, Arman sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum.
Ia pun memundurkan badannya hingga kembali bersandar ke kursi. Ditto mengamati interaksi Ayu dan Arman di depan matanya saat ini. Di depannya, ada sahabatnya yang sedang bertukar tawa dengan Arman, pacarnya hampir satu tahun ini. Sahabatnya yang sering kali semangat menyuruhnya melakukan hal-hal konyol seperti menjadikan seorang cewek pacarnya, kemudian beberapa bulan setelahnya menyemangatinya untuk memutuskan cewek tersebut.
Berkali-kali ia melihat Ayu brganti pacar. Menyayangi cowok-cowok itu kemudian ada masanya ketika Ayu sedih karena hubungan mereka tidak berjalan baik. Ditto menahan diri sekali untuk tidak berkata bahwa Ayu tidak cocok dengan mereka semua dan mungkin bisa cocok hanya dengannya.
Tapi, kalau itu bisa merusak semua yang mereka punya selama hampir lima tahun ini, buat apa ia katakan itu semua? Jadi, Ditto hanya menoleh ke sampingnya dan tersenyum kepada teman-tapi-mesranya minggu ini.
Ngapain lo? Salah satu tugasnya menjadi ketua OSIS adalah mengurus teman- temannya yang tertangkap saat tawuran. SMA 82 memang terkenal dengan intensitas tawurannya yang mungkin hampir sama dengan intensitas les bimbingan belajar. Maka dari itu setiap ketua OSIS diharapkan mampu mengurangi kegiatan tersebut dan mengurus teman-temannya kalau pada akhirnya mereka tertangkap pihak yang berwajib.
Beruntung kemarin pihak kepolisian datang di saat tawuran belum terlalu memanas. Tidak ada senjata yang berbahaya atau korban yang terluka. Namun tetap saja, pelajar- pelajar yang ikut tawuran harus diamankan oleh pihak yang berwajib. Jahat banget? Sekarang jadi elo kan yang mewek-mewek abis putus sama Arman. Tapi dia malah minta putus kemarin.
Melupakan fakta bahwa sebenarnya ia punya janji jalan dengan cewek lain malam ini. Walaupun ia sedih karena harus putus dengan Arman, ia masih tetap seriang biasanya di sekolah. Masih selalu jadi supporter Ditto saat tim futsalnya bertanding melawan sekolah lain. Masih selalu memanggilnya untuk makan bersama di kantin saat jam istirahat. Hari Senin ini Ditto sudah tidak sabar berangkat ke sekolah.
Kemarin ia membeli sebuah vespa dari semua tabungan hasil ngeband-nya selama ini. Vespa itu memiliki banyak warna, terlihat edgy dan rasanya Ditto menjadi dua kali lipat lebih keren daripada biasanya. Oke, yang terakhir itu memang hanya perasaannya. Namun, sampai detik ini ia mengendarai vespanya menuju sekolah, bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum seperti orang gila.
Jadi begini ya rasanya beli barang pake duit sendiri? Hampir tiap akhir pecan ia tampil dari satu kafe ke kafe lainnya, ikut turnamen antar-sekolah dan berhasil menang, akhirnya uang yang ia sisihkan selama lebih dari satu setengah tahun ditambah dengan tabungannya sebelum ini, berhasil membuatnya memiliki kendaraan sendiri.
Cewek itu akan menjadi penumpang pertama vespanya. Saat memasuki sekolah, puluhan pasang mata menatap ke arahnya dengan penuh minar. Satpam sekolah pun sempat berdecak kagum saat melihat vespa warna-warni itu masuk dan parkir di area yang sudah tersedia.
Di antara motor bebek milik siswa lain, vespa Ditto terlihat menonjol dan tidak sama dengan yang lain.
Ditto menepuk jok vespanya dengan bangga. Cowok itu bahkan lupa melepas helmnya. Kemudian keduanya berjalan beriringan menuju gedung kelas mereka. Kelas yang harusnya juga dimasuki Ditto sebelum akhirnya ia memutuskan pindah ke IPS. Saat Ditto sampai di kelasnya, ia langsung menaruh tasnya di atas meja kemudian beranjak menuju kelas Ayu di sebelahnya.
Sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi. Kelas Ayu ramainya sudah seperti pasar. Yang cowok sibuk ngumpul di belakang kelas, bergerombol dengan beberapa anak IPS lain. Yang cewek sibuk bergosip di lantai depan kelas. Ditto mengedarkan pandangannya ke sekitar kelas, kemudian ia mendapati Ayu sedang mengobrol dengan dua cewek yang memang sering bersama Ayu.
Ia langsung beranjak dari kursinya dari meghampiri Ditto. Saat sebuah vespa dengan Ditto sebagai pengendaranya berhenti tepat di depannya, Ayu berdecak kagum dan langsung berseru kaget. Ayo naik, mau jadi penumpang pertama, kan? Setelah mengenakannya, ia langsung duduk di boncengan Ditto. Ditto pun segera menstarter vespanya, kemudian mennjalankannya dengan kecepatan sedang mengelilingi Taman Mataram.
Berkali-kali melewati Wartam yang masih dipenuhi murid SMA 82 dan menatap mereka dengan penasaran. Namun Ditto dan Ayu tidak peduli pada mereka.
Naik vespa ini seperti naik wahana di Dufan, tidak pernah puas. Namun Ayu sadar bahwa sebentar lagi ia harus segera pergi untuk bekerja. Jadi setelah beberapa putaran, Ditto menghentikan vespanya di depan Wartam. Berbulan-bulan kemudian, Ditto selalu menepati janjinya kepada Ayu. Membawa cewek itu berkeliling Wartam dengan vespanya.
Untuk orang yang merasa tidak menginginkan hal yang ia miliki saat ini, mungkin waktu terasa berjalan sangat lambat. Bagi Ditto, waktu terasa sangat cepat. Rasanya seperti baru kemarin ia dilantik menjadi ketua OSIS, tiga kali semingu latihan futsal, merasakan sensasi membawa kendaraan yang ia beli dengan uangnya sendiri…sekarang, ia sudah kelas tiga.
Sudah dihadapkan dengan apa yang namanya dunia perkuliahan yang sudah di depan mata. Ditto menatap materi Sejarah yang baru selesai ia tulis. Di sekelilingnya, teman-temannya sudah mulai tidak melakukan apa yang diperintah guru mereka. Sudah banyak yang main game ngeloyor ke kantin padahal masih setengah jam lagi sebelum istirahat. Ada juga yang mulai main kartu di sudut belakang kelas. Benar-benar bisa dihitung dengan jari siapa saja yang langsung mengerjakan soal latihan begitu selesai menulis rangkuman materi bab ini.
Ditto menutup buku tulisnya dan beranjak keluar kelas. Rasanya kepalanya sudah sangat penat karena sudah hampir dua jam dicekoki teori terus-menerus. Jujur saja, Ditto lebih memilih disodorkan soal-soal hitungan dibanding hafalan. Di koridor kelas 3 IPS, keadaan sebenarnya tak jauh berbeda dengan di dalam kelas. Banyak murid yang keluar kelas, sekadar mengobrol sambil bersandar pilar koridor atau lesehan di lantainya. Ditto mengamati segerombolan cowok yang ada di ujung koridor.
Kalau dilihat-lihat siapa saja yang ada di sana, Ditto yakin mereka sedang merencanakan tawuran untuk balas dendam karena minggu lalu ada murid sekolahnya yang dihadang di halte bus oleh satu geng dari SMA lain.
Bukan hanya dihadang, tapi juga dipalak dan diberi beberapa pukulan sebelum akhirnya berhasil kabur begitu saja karena waktu itu sudah sore dan sangat sedikit saksi mata di tempat kejadian. Hal itu tentu membuat pentolan sekolahnya geram dan mulai merencanakan aksi balas dendam.
Ditto menghela napas, berharap semoga kali ini tidak sampai berurusan dengan polisi lagi, untuk yang kesekian kalinya. Ditto langsung menyeret Ayu menjauhi kelasnya menuju kantin sekolah yang masih sepi. Kalaupun terlihat ada murid- murid yang sudah ada di sana, bisa dipastikan mereka sedang membolos dari kelas—seperti yang Ditto dan Ayu lakukan.
Ayu terperanjat kaget. Cengirannya bertambah lebar ketika melihat Ayu kini tak bereaksi apa pun. Akhir-akhir ini ia memang dekat dengan Dika, nama cowok yang tadi disebut Ditto. Teman sebangku Ditto sejak kelas tiga. Tapi kedekatannya dengan Dika bukan suatu hal yang akan berkembang lebih jauh. Hanya sering berkomunikasi, beberapa kali jalan bareng, tapi selebihnya…tidak ada lagi. Ayu sendiri yakin kalau mereka tidak akan menjadi pacar atau apa pun itu namanya.
Seingatnya, ia tidak membeberkan hal ini ke banyak orang. Dan ia tidak memberi tahu Ditto tentang hal ini karena…bukan hal yang penting baginya. Toh ia dan Dika hanya dekat. Kok bisa sih lo sama Dika? Bel istirahat tak lama kemudian berbunyi. Kantin langsung diserbu murid-murid dari seluruh kelas.
Membuat pembicaraan mereka terhenti sejenak karena anggota band Ditto datang menghampiri mejanya. Membicarakan gigs mereka minggu ini. Ada senyum menyebalkan di wajahnya. Melihat kelakuan teman sekelas Ditto ini, mungkin Ditto tahu dari Dika sendiri.
Cowok itu bercerita langsung ke sahabatnya. Cowok nggak beda jauh dengan cewek ternyata. Hanya mungkin tak terlihat saja kebiasaan menggosip dan curhat mereka. Mereka kan punya lagu sendiri tuh. Ayu menggebraak meja kantin dan berteriak dengan kesal.
Lengkap dengan iringan lagu Maroon 5 tersebut. Punya temen gini amat, siih, batin Ayu. Sedangkan Dika sendiri tidak menanggapi apa-apa. Hal ini tentu membuat Ayu semakin kesal dengan Ditto karena ceritanya sudah jadi konsumsi publik satu sekolah. Ayu menoyor kepala Ditto yang mengenakan helm. Meledeki Ayu dengan hubugannya dan Dika selalu membuatnya tertawa puas. Baru kali ini ia melakukan hal tersebut, menyebarkan cerita tentang Ayu dan cowok yang dekat dengannya ke seluruh sekolah.
Entah apa yang ia pikirkan, namun satu fakta berhasil membuatnya tenang saat mendengar cerita mereka. Setidaknya, mereka tidak menjalin hubungan apa pun. Cewek itu mengencangkan kuncir kudanya sambil melotot kepada Ditto, bersiap memuntahkan semua omelannya. Namun sebelum itu terjadi, seorang junior menghampiri mereka dan menatap Ditto. Memang, selama ini ia dekat dengan Dika, tapi tidak banyak orang yang tahu.
Atau, Ayu sedikit ragu ada orang yang menyadarinya. Dan entah sudah berapa kali dalam dua minggu ini ia dihadapkan dengan pertanyaan yang sejenis itu. Entah apa yang Ditto berbuat seusil ini, tidak berpikir dua kali untuk membicarakan hubungannya dengan Dika. Dika sendiri tidak bereaksi berlebihan saat seisi sekolah tahu tentang mereka.
Toh tidak ada yang salah. Mereka hanya dekat, berkomunikasi dengan baik, tapi ya…pada akhirnya Dika tahu, hubungannya dengan Ayu hanya akan jalan di tempat tanpa ada perubahan status atau apa pun itu namanya.
Kapan sih semua orang berhenti ngomongin gue sama Dika? Ditto terkekeh, ia menyeret Ayu dari pinggir lapangan supaya mereka tidak jadi pusat perhatian murid-murid yang masih lalu lalang di sekitar lapangan.
Kantin di jam dua siang saat itu sudah tidak terlalu ramai. Hanya tersisa segelintir murid kelas satu yang sepertinya sedang beristirahat dari kegiatan ekskul. Keduanya segera duduk berhadapan di tempat yang sudah jadi tempat favorit mereka. Buat apa coba? Lo stress karena mau UAN makanya tiba-tiba jadi sableng gini, ya? Namun bagaimanapun, Ditto tetap sahabatnya—semenyebalkan apa pun dia. Jadi Ayu hanya menghela napas dan bangkit dari kursinya, bersiap untuk pulang.
Ia selalu suka melihat wajah cewek itu merengut menahan kesal seperti akhir-akhir ini. Walaupun pahitnya adalah cewek itu dekat dengan temannya sendiri.
Rasanya sangat berat untuk melepas sahabatnya selama enam tahun ini untuk pergi kuliah ke kota yang berbeda dengannya.
Ia benar-benar menatap sosok Ditto yang ada di hadapannya. Cowok itu sudah jauh bertambah tinggi dari saat ia pertama kali bertemu dengannya di SMP. Gaya rambutnya pun sudah berubah, berhasil menunjang penampilannya tiap manggung bersama band-nya. Jadi lebih keren—sedikit keren, ralat. Ia tak akan mengakui hal ini di depan Ditto secara langsung. Bisa-bisa cowok itu nyengir selama sebulan karena senang.
Tiap minggu palingan gue pulang. Ia menatap ke sekeliling SMA- nya. Hari ini adalah hari terakhir Ditto berada di Jakarta, cowok itu sore ini akan berangkat ke Bandung. Sedangkan Ayu akhirnya memilih untuk kuliah di Jakarta sambil terus bekerja di dunia entertainment. Rentang waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk mereka berdua.
Walaupun Ditto berkata bahwa kemungkinan besar ia akan pulang ke Jakarta tiap minggu karena aktivitas band-nya, tetap saja intensitas komunikasi dan pertemuan mereka akan sangat berkurang. Ditto tersenyum. Ia sendiri tahu bahwa band SMA yang diikuti Ditto sejak mereka kelas satu tersebut sudah mengalami banyak kemajuan. Hampir setiap akhir minggu mereka mendapatkan job untuk manggung di berbagai acara.
Membuat Ditto yakin kalau di Bandung ia akan benar-benar kuliah hanya selama lima hari dalam seminggu, sisanya ia akan habiskan weekend-nya untuk manggung bersama band-nya. Ketua OSIS saat ini sebenarnya benar-benar baru dilantik, lantaran ketua OSIS sebelumnya tidak becus menjalankan organisasi dan membuat Ditto sedikit memperpanjang masa jabatannya dan akhirnya ada penggantian ketua OSIS angkatan tahun ini.
Sembari menjawab pertanyaan juniornya, Ditto menatap ke sekeliling SMA-nya, kemudian terpaku pada Ayu yang sedang menatap ke arah lain. Lebih tepatnya ke arah lapangan basket. Akan ada banyak hal yang akan ia rindukan dari masa- masa SMA-nya. Dan hal yang paling ia rindukan tentu saja sahabatnya ini.
Ayu segera menadahkan tangannya. Gue laper. Ditto menggeleng pelan, kemudian ikut duduk di sofa bersama Ayu. Matanya memindai keramaian kru film yang hilir mudik di luar ruangan yang ditempati Ayu.
Satu setengah jam yang lalu cewek di sebelahnya ini tiba-tiba meneleponnya saat ia baru saja selesai manggung. Meminta dibelikan roti bakar dan diantarkan ke lokasi syutingnya malam ini. Malam ini seperti malam Minggu yang biasa dihabiskan Ditto dan Ayu, masing-masing dari mereka sibuk dengan pekerjaan. Sejak kuliah di Bandung, tiap akhir pekan Ditto pulang ke Jakarta untuk manggung.
Ayu masih sibuk dengan syutingnya. Kesibukan jelas menjadi penghalang nomor satu. Siapa namanya dah? Belum setahun, kali. Keduanya tetap menjaga komunikasi mereka walaupun sekarang kuliah di kampus yang berbeda. Tidak heran makanya ketika Ditto ingat siapa cowok yang sedang pendekatan dengan Ayu.
Ketika Ayu sedang membuang sampah makanannya, ponsel yang ada di satu Ditto bergetar. Ditto meraih ponselnya untuk mendapati bahwa Lida mengiriminya pesan singkat. Lida: To, besok jalan, yuk. Ditto menghela napas. Cewek yang baru dikenalnya di kampus ini sudah sangat gencar mengajaknya jalan bersama dan hal-hal yang lazimnya dilakukan oleh dua orang yang sedang pendekatan. Padahal, Ditto sudah menunjukkan ketidaktertarikannya dengan jelas. Ditto: Sori, gue sibuk. Tanpa memedulikan akan balasan dari Lida, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku tepat saat Ayu kembali ke hadapannya.
Jalan yuk, Cha. Bolak-balik Jakarta- Bandung bukan hal yang asing lagi baginya. Toh orangtuanya juga tak keberatan, selagi ia pulang untuk bekerja dan kuliahnya masih berjalan dengan baik. Senin paginya Ditto kembali berkuliah seperti biasa. Saat itulah Lida sudah duduk di kursi yang biasa ia tempati.
Cewek dengan potongan rambut bob tersebut mengeluarkan sekantung plastic kue bolu yang sepertinya ia belikan khusus untuk Ditto. Cewek itu langsung tersneyum ke arah Ditto. Saat mulutnya sudah terbuka ingin menanggapi, dosen mata kuliah pagi ini sudah keburu masuk dan mulai menagih paper yang ditugaskan minggu lalu.
Cewek itu bisa dibilang tidak seperti cewek kebanyakan yang rata-rata jaga image saat mendekati seorang cowok. Lida dengan lugasnya mengatakan kepada Ditto kalau ia menyukai Ditto dan menginginkan Ditto jadi pacarnya.
Sudah lewat dua bulan Ditto mencoba mengabaikan Lida, cewek itu benar-benar mengikuti Ditto ke mana pun Ditto pergi. Bahkan, beberapa waktu lalu cewek itu menonton bandnya saat manggung di salah satu kafe di Jakarta. Membuat teman-teman satu bandnya mulai bertanya-tanya, apakah Lida pacar baru Ditto atau bukan.
Walau banyak juga cowok yang naksir Lida, cewek itu sepertinya sudah menjatuhkan pilihannya kepada Ditto. Terbukti dengan penolakan yang terus ia berikan kepada cowok-cowk lain sekalipun ia sendiri juga masih ditolak oleh Ditto. Siang itu kantin fakultas terlihat ramai. Jam makan siang membuat hampir semua mahasiswa tumpah ruah ke kantin. Di bagian ujung kantin terdapat beberapa dosen yang juga sedang menikmati makan siang.
Ditto memilih meja yang agak di pojokan kantin. Untuk mendapatkan privasi karena ia tak tahu akan seperti apa pembicaraannya dengan Lida kali ini. Atau lo udah naksir cewek lain? Tapi pasti Cewek itu tak akan langsung percaya kalau ada bukti.
Apa terdengar seperti ia menembak Lida atau semacamnya? Tapi dari pelajaran yang ia dapatkan selama ini cewek memang akan terus mengejar kalau belum berhasil mendapatkannya. Ketika nanti mereka sudah jalan bareng, pasti Lida akan merasa bosan dan mundur teratur sendiri. Ujian tengah semester baru saja lewat dan akhirnya membiarkan Ditto bernapas lega. Kesibukan kuliah dan band-nya membuat ia belum sempat menghubungi Ayu.
Cewek itu juga jarang meneleponnya lebih dulu. Hari ini Ditto pulang ke rumah seperti akhir pekan biasanya. Lida sedang ada kegiatan UKM di luar kota, setidaknya saat ini ia bisa lepas sebentar dari cewek itu. Atau apa pun namanya. Siang ini Ditto memutuskan untuk bersantai di ruang keluarga rumahnya. Kedua orangtuanya sedang pergi ke acara teman mereka. Sedangkan Andiko sedang bermain dengan teman- teman sekolahnya. Ia sendiri, dan sedang jenuh dengan acara televise yang ada. Diraihnya ponsel yang terletak di atas meja, hanya ada dua pesan dari Lida yang belum ia balas.
Ia kembali mencoba menghubungi Ayu untuk ketiga kalinya hari ini. Dua minggu tidak berkomunikasi, dan cewek itu sudah menghilang saja dari radarnya. Malah pas lamaran, kami tuh, lebih banyak cekikikan gitu.
Bercanda mulu. Sampai diomelin sama orangtua kami. Yang bikin banyak orang gemes adalah pas momen pasang cincin, kami masih tetap bercanda dan ketawa-tawa. Udah deh, aku nggak ngerti lagi kenapa hidup kami berdua jatuhnya kayak ngelawak, hahaha.
Dua keluarga pun akhirnya ngomongin tanggal pernikahan kami. Kami punya dua pilihan, antara tanggal 13 September sama 11 Januari. Tapi karena 11 Januari waktu itu adanya di hari Senin, akhirnya sepakat 13 September, yang notabene itu empat bulan lagi dari sekarang. Dari masa lamaran. Empat bulan lagi, aku bakal nikah sama Ditto. Apa semua persiapannya bisa berjalan lancar, ya?
Karena walaupun kami temenan, tapi ini kami mau nikah, lho. Dan urusan nikah itu kan, nggak cuma antara aku sama Ditto doang. Ada keluarga kita berdua juga—dan menikah itu pasti bukan hal sepele untuk keluarga kami.
Di bulan pertama mempersiapkan pernikahan, kami nggak banyak ngalamin kendala karena kami memang sangat kompak. Gara-gara persahabatan kami yang udah lama juga kali, ya.
Menurut kami, pernikahan itu bukan hal yang harus ditakutkan, sih. Kami punya prinsip, apa pun bisa diobrolin. Apalagi dengan latar belakang pertemanan kami yang sudah sangat lama. Jadi harusnya segala macam urusan tentang pernikahan ini bisa dibicarakan hingga dapet solusinya dengan mudah, iya kan? Tapi apa itu bisa terjadi dan diterima oleh keluarga?
Nah, ternyata masalah itu datang di bulan kedua saat kami mempersiapkan pernikahan. Dari milih baju aja, keluarga udah ribet banget. Kami berdua mikir, ini kan, bukan hal yang susah, tapi ternyata buat nentuin warna aja seribet itu. Tapi untungnya masalah itu bisa selesai kalau memang kedua calon pengantinnya kuat, bisa saling mempertahankan pendapat mereka berdua. Apa pun interupsi yang diberikan oleh kedua pihak keluarga, semua itu hanya jadi bahan pertimbangan, karena kita udah punya visi dan misi sendiri buat pernikahan ini.
Gue cuma mau bilang, ketika lo mau menikah, lo jangan sampai terpengaruh sama omongan kanan-kiri. Masalah bisa dihadapi kalau lo berdua bisa mempertahankan prinsip dan terus berkomunikasi dengan baik. Ibaratnya perusahaan, kita harus punya blue point. Mau menjalankan pernikahan juga sama kayak gitu, harus punya proposal yang bisa disebarkan itu. Jadi apa pun yang interupsi dari kanan-kiri itu ya, akan mental, karena kita udah punya pegangan kita sendiri. Di bulan pertama itu, gue dan Ayu udah ngejelasin visi misi kami kayak gini, nih.
Apa pun masukan yang disampaikan ke kami, itu semua jadi bahan pertimbangan aja. Ya, tapi yang pasti, hal itu jangan sampai menyakiti keluarga juga, sih. Setidaknya, kalau apa yang keluarga usulin masuk kuping kanan keluar kuping kiri, lo nggak boleh juga nanggepin usul mereka dengan kasar—apalagi kalau sampai keluarga kita malah jadi sakit hati.
Kami juga menutup kemungkinan untuk dibiayai oleh keluarga supaya bisa menjalankan acara pernikahan yang sudah kami pikirkan sebelumnya. Itulah resep utama dari kami supaya pernikahan kalian nggak banyak intervensi, hahaha. Karena pengalaman nih, ya, selain baju, ternyata kedua orangtua kami punya banyak channel katering. Jadi tiap hari itu gue dan Ayu tes katering untuk menghargai kedua orangtua kami.
Walaupun kita sudah punya pilihan sendiri, sudah tahu akan menggunakan katering yang mana, tapi menghargai saran dari orangtua juga penting, tidak usah langsung menolak karena bisa dijadikan bahan pertimbangan juga. Hal terbaiknya, karena kami sudah lama berteman, apa pun jadinya selalu bisa diobrolin. Ini sih, yang bikin asyik nikah sama sahabat sendiri. Ya, akhirnya Ayu ngasih saranlah buat gue bales apa ke nyokapnya. Pokoknya, begitu terus. Kalau orangtua saling ngehubungin kami, kami pasti ngomong langsung ke pasangan.
Nggak ada yang diumpetin di antara kami. Nggak ada yang perlu disembunyiin dari pasangan kita sendiri. Ingat lho, Mas, ini kan, acara besar. Kita dilibatkan, jangan lupa. Jadi Ibu tunggu beres aja, duduk manis aja. Biar kita berdua yang urus. Karena, ya, kayak yang tadi gue bilang, menikah itu berarti lo menikah sama keluarganya juga. Yang sempat bikin pusing itu adalah ketika sudah sampai di bulan kedua, kami belum dapet tempat buat acara resepsi. Karena tempat yang dimau udah nggak ada yang kosong di tanggal yang kami rencanakan.
Iyalah, sekarang kan, booking gedung aja minimal setahun sebelum acara. Lha ini, kita aja cuma punya waktu empat bulan.
Pas lagi pusing-pusingnya nyari tempat, Ayu tiba-tiba teringat salah satu tempat yang berlokasi di Kemang. Kayaknya tempatnya juga bagus deh, buat acara kita. Kami akhirnya memilih tempat itu untuk acara resepsi.
Selain karena emang itu yang available, kami jadi mengulang kembali kenangan mengenai tempat itu pada zaman masih remaja dulu. Gue juga ingat banget, ada tuh, foto gue sama dia pas di acara ulang tahunnya, di situ gue masih cupu banget.
Dulu Ayu ngerayain sweet seventeen-nya di sini, dan sekarang acara resepsi pernikahannya di sini juga, sama sahabatnya lagi. Kurang keren apa coba? Tapi semakin mendekati hari H, masih ada saja yang jadi masalah.
Jumlah undangan yang jadi poin utama kami. Terlebih kami juga sebenarnya tidak berniat mengadakan acara kami besar-besaran. Kami maunya yang bener-bener berkesan bagi kami dan orang-orang yang emang deket sama kami. Biar lebih privat dan kerasa intimate-nya.
Kami berdua sudah memutuskan jumlah undangan, tapi belum menyampaikan ke kedua keluarga kalau tiap keluarga hanya mendapatkan seratus undangan saja. Itu adalah cara kami untuk tidak diprotes. Kalau udah mepet kan, nggak bakal bisa protes yang macem-macem, hehe. Ya menurut kami, ngapain juga rame-rame kalau kita nggak kenal sama semua yang datang. Nyokap gue bener-bener kaget pas dikasih tahu tentang undangan itu. Nyokap pun nyuruh gue mikir-mikir lagi. Ini tuh ya, acara pernikahan, Mas, Cha.
Di situ gue sama Ayu cuma bisa diam aja. Selesai sama nyokap gue, akhirnya kita datang ke ibunya Ayu. Reaksi ibunya Ayu juga nggak beda jauh pas Ayu ngasih tahu tentang jumlah undangan. Keluarga ibu yang di sana gimana? Yang di sini gimana? Itu baru Opa Bing Slamet, belum kakek kamu yang lain. Yah, bagaimanapun reaksi ini udah kami perkirakan, sih. Makanya kami dengan sengaja ngasih tahu hal ini H Gue sama Ayu akhirnya ketemu lagi, ngomongin reaksi keluarga tentang hal ini.
Akhirnya setelah beberapa saat kami berdua mikir dan diskusi, gue sama Ayu memutuskan untuk mempertemukan kedua orangtua kami, biar masing-masing bisa saling terbuka tentang masalah ini. Dan reaksi mereka sungguh berbeda dari yang kami bayangkan. Berbeda banget dari pas kami ngomong sendiri- sendiri. Karena dua keluarga dikumpulin, jadinya nggak ada penolakan kayak sebelumnya. Ternyata cara berkomunikasi yang bagus seperti ini.
Mengumpulkan dua keluarga langsung untuk menyampaikan apa yang kita mau. Semua aman dan kita juga bisa dapet ide-ide yang bagus dan cemerlang. Nggak ada tuh, yang namanya saling sindir-sindiran, marah-marahan, atau saling nyalahin satu keluarga dengan yang lain. Oh, jadi gini, ya? Nikahin teman ternyata ada juga masalah-masalahnya. Kami sempat berpikir kalau nikah itu ya, enteng-enteng aja, gampang-gampang aja, kayak temenan— tapi ternyata nggak juga.
Yang riweuh juga bukan kitanya, tapi keluarganya. Pas H-7, ada kejadian yang mungkin tidak akan kami lupakan seumur hidup. Gue sedang berada di luar kota bertepatan dengan jadwal technical meeting acara nikahan gue sama Ayu.
Waktu itu gue masih harus kerja dan akhirnya Ayu harus berangkat sendiri ke lokasi, karena ibunya Ayu juga tidak bisa datang. Di lokasi acara, baru Ayu bertemu dengan nyokap gue. Tidak hanya nyokap gue sih, masih banyak yang hadir dari pihak keluarga gue, sedangkan dari keluarga Ayu hanya beberapa saja. Tadinya, gue pikir nggak bakal ada masalah, karena Ayu kan, udah deket banget sama nyokap gue.
Ya, sejak kita masih pake seragam aja, yang status kita cuma sahabatan, Ayu udah deket sama nyokap gue. Gue pikir dengan posisinya yang naik menjadi calon menantu akan mempermudah segalanya. Tapi ternyata ada aja masalahnya. H-7 emang udah yang hectic banget, tapi gue nggak bisa berpartisipasi banyak juga, sih.
Gue agak lepas tangan karena lagi ada manggung waktu itu. Abis technical meeting, Ayu menelepon gue sambil menangis. Kaget sih, gue waktu itu.
Kenapa nih, anak bisa sampai nangis gini? Sepertinya dia ada selisih paham sama nyokap gue. Ngerengek dan mengeluarkan kalimat yang bikin gue agak kesal juga. Gue udah grogi gemeteran kayak orang tremor pas ngelamar dia di Bali sampai acara lamaran kemarin di rumahnya, masa gara-gara ada masalah, mau mundur gitu aja?
Aneh sih pas tahu Ayu sempat ada masalah sama nyokap. Asli, bingung banget, padahal Ayu sama nyokap gue itu udah sohib banget. Kok bisa, sih? Udah deh, aku maunya temenan aja sama kamu, Mas. Nggak mau nikah. Aku ngerasa Ibu tuh, jadi galak.
Pantesan ya, dari dulu pacar kamu selalu ditolak sama Ibu. Padahal itu dia udah nangis-nangis di telepon. Dulu sih, lo ngerjain gue sama pacar-pacar gue. Dan Ayu ini yang dulu—dengan resenya, ngompor- ngomporin nyokap gue—sampai nyokap gue nggak suka sama pacar-pacar gue itu. Pacar- pacar lo dulu sih, kuat ya, nerima Ibu yang kayak begini. Karena mempersiapkan acara sendiri, aku mau A-Z itu aku yang ngurusin. Nggak mau ada intervensi dari orang. Tapi semakin bertambahnya waktu, aku mulai sadar, yang namanya pernikahan pasti akan melibatkan banyak pihak.
Kalau orangtuaku dan orangtua Ditto maunya begini, aku maunya begitu. Tapi, yang namanya anak muda, ibaratnya ya, acara ini ya, kayak pertaruhan rasa ego kita. Karena ini pakai tabungan kita, ini harinya kita, pengennya segala sesuatu kita saja yang ngurusin. Dengan latar belakang pemikiran itu juga kali yang membuat aku dan ibu Ditto sedikit bersitegang saat kami akan mengadakan technical meeting. Abis technical meeting itu, aku langsung menelepon Ditto. Langsung ngaduin semuanya ke dia.
Eh, dia malah ketawa-ketawa. Dulu aku emang sering ngadu ke ibunya Ditto. Terus sekarang dia jadi yang kayak berubah gitu. Akibat dari keisenganku ngadu yang enggak-enggak, pacarnya Ditto banyak yang nggak disukain sama ibunya. Eh, sekarang kayak kena batunya. Jangan-jangan pacar-pacarnya Ditto juga suka digalakin sama Ibu. Nyesel jadinya dulu ngadu-ngadu ke ibunya Ditto. Untungnya sih, tidak berlangsung lama, karena setelah kami ketemu pasca bersitegang itu, ya udah cair lagi.
Yang membuat sempat galau, mungkin karena waktu itu Ditto nggak ada, jadinya masalah yang seharusnya sepele jadi berasa besar banget. Biasanya kan, kalau ada Ditto, masalah apa pun itu bisa dicuekin saja karena Ditto bisa bikin aku lebih rileks.
Nah, sekarang sendirian, nggak ada Ditto, aku mesti gimana coba? Dari jauh-jauh hari, aku udah wanti-wanti Ditto kalau dia nggak boleh ngadain bachelor party. Soalnya kalau cowok tuh, ekstrem banget bikin pesta lajang begitu. Lo kan, udah puas tuh, dulu jadi playboy, udahlah, nggak usah.
Awalnya Ditto ngaku-ngaku nggak suka pesta lajang gitu. Itu juga alasannya ikut-ikutan ngelarang aku untuk ngadain bachelor party. Tapi, tentu saja bachelor party ala cowok dan cewek beda, kan? Tapi teman-temanku tetap ngadain bachelor party buat aku, walaupun mereka tahu Ditto nggak ngebolehin. Kalau lo pada ke club atau apa, gue marah pokoknya. Acara yang diadakan di hotel itu dibuat misterius sama teman-temanku.
Aku nggak tahu apa-apa dan tiba-tiba mataku ditutup. Katanya mereka mendatangkan penari. Iya, sempat kepikiran Ditto juga. Nggak enak karena udah janji nggak akan macem-macem. Pas mataku dibuka, aku bisa bernapas lega ternyata penarinya itu teman cowokku yang gayanya kecewek-cewekan.
Sebenarnya yang bikin kelihatan lebih serem karena dia pakai atribut bulu-bulu, hahaha. Tapi fotonya akhirnya bocor ke Ditto. Ditto langsung marah karena dari awal kan, nggak ada joget-joget sama cowok gitu di perjanjian, dan akhirnya aku yang sedih. Untungnya Ditto bukan orang yang bisa marahan berlama-lama, hehehe. Dan yang lebih beruntungnya lagi, dia nggak berniat membalas aku dengan mengadakan bachelor party bareng teman-temannya. Contohnya hal sepele, tapi penting, seperti kuku.
Tak perlu repot ke luar hotel karena orangnya bisa dipanggil ke tempat kita. Pas udah selesai, ternyata kuku- ku kepanjangan dan warnanya salah, jadi merah dangdut gitu. Aku nggak bisa jelasin merah dangdut itu kayak apa. Intinya sih, aku kurang suka degan warna ngejreng kayak kuku-ku saat itu. Akhirnya aku minta langsung diganti beberapa jam kemudian, ganti warna lagi jadi cokelat.
Hasilnya menurutku lebih cantik. Tapiii, pas udah selesai, eh kukunya tuh ada satu yang lepas, akhirnya digunting dan warnanya jadi beda sama apa yang dimau di awal. Udah tinggal hitungan jam, tapi adaaa aja yang bikin bete gini. Seharian itu rasanya deg-degan banget, nggak bisa tidur, terus bingung mau ngomong apa.
Senewen juga. Takut besoknya malah nggak bisa bangun karena susah tidur malam ini. Padahal paginya kami harus difoto dan divideoin gitu sama videografer-nya. Aku benar-benar deg-degan. Malam itu aku ngerasa panik dan aku butuh backup dari Ditto. Akhirnya, untuk menetralisir rasa panikku, aku ngajak Ditto ke McD Kemang. Walaupun besok aku bakal nikah sama Ditto, tapi tetap aja Ditto itu sahabat aku. Orang yang bakal aku cari kalau aku lagi ngerasa bingung kayak gini.
Gue deg- degan, nih. Karena aku tahu, hanya dengan ngelihat dia aja, bawaannya tuh, jadi lebih tenang gitu. Aku bisa tiba-tiba merasa dikuatkan dan bisa meyakinkan diri sendiri, udahlah, ini semua bisa dijalanin berdua. Satu hari sebelum hari H, gue deg-degan parah. Karena gue bingung mesti gimana, akhirnya gue nekat mau nemuin Ayu. Pernikahan kami emang yang modern dan santai, khidmat ajalah pokoknya.
Ya, kan, Mas nggak pernah serius sama cewek. Sekalinya serius, ini langsung nikah. Padahal sih, sebenarnya gue mau ke tempat Ayu. Pikiran gue begini gara-gara mau nikahin dia besoknya, tapi karena dia sahabat gue, jelas gue pun butuh dia buat bikin hati tenang. Ini sih, untungnya nikah sama sahabat sendiri ya, hahaha. Tapi mereka semua nggak ada yang tahu kalau sebenarnya gue mau ketemu Ayu. Mungkin cuma gue, Ayu, sama Tuhan yang tahu.
Cie elah. Kami akhirnya ketemu di McD Kemang. Ayu juga sama groginya kayak gue, makanya dia mau gue ajak ketemu. Kami makan sebentar di McD baru abis itu ngobrol-ngobrol. Ini beneran, ya? Jangan bikin malu ya. Ingat, sekali tarikan napas aja, lho. Sahabat gue itu cuma Ayu. Makanya pas lagi begini, ya gue nggak bisa jauh-jauh dari dia lah. Permasalahannya adalah sahabat gue itu yang mau jadi calon istri gue. Jadi, segala kepanikan gue dan segala ketakutan gue hanya akan bisa luntur kalau gue sudah melihat dia.
Pembicaraan tentang mau punya anak berapa dan hal-hal lainnya tentang kehidupan yang akan kita jalani nantinya mengalir begitu saja. Nggak kerasa ternyata kami sudah ketemu selama tiga puluh menit. Kelamaan ketemu bisa ditanya-tanya sama keluarga, nih. Ternyata benar. Katanya cuma ke minimarket, kok lama banget? Keluarga gue khawatir banget gue tiba-tiba ngilang lama, akhirnya malam itu setelah ngobrol panjang lebar, gue pulang dan Ayu juga balik ke hotel.
Tapi rasanya pertemuan tadi masih aja kurang. Kami juga masih teleponan dari sepanjang perjalanan pulang sampai ke tempat masing-masing. Ingatlah, restu orangtua dan dukungan keluarga adalah modal utamanya.
Jangan tanya rasanya kayak apa sekarang. Yang jelas, perasaan gue tuh, bingung, campur aduk—segala macem, deh. Ternyata begini toh, rasanya ada di detik-detik mau melepas masa lajang. Selama nunggu waktunya ijab kabul, gue ngobrol sama keluarga gue—bokap sama adik gue. Biasalah, boys talk. Tentu obrolan kami nggak terlepas dari proses ijab kabul nanti.
Bokap gue di sini berusaha buat tenangin gue. Semua keluarga pun berusaha bikin keadaan terasa nyaman yang akhirnya sedikit demi sedikit bisa ngilangin groginya gue. Emang bener ya ternyata, peran keluarga tuh, penting buat menenangkan ketakutan si calon pengantin. Akhirnya mereka bercandain dan ngingetin tentang status gue sama Ayu yang dari dulunya itu temenan lama hingga sekarang akan menikah.
Apaan tuh, kayak gitu? Tapi karena handphone-nya nggak diambil keluarga, kita masih bisa chatting via WhatsApp. Dari tadi pagi gue nanya dia lagi di mana, lagi apa, udah mandi belum, udah siap belum—pokoknya kita ngobrol kayak biasa, deh. Tadi pagi aja dia masih nelepon gue buat bangunin gue.
Komunikasi kami via handphone dari kemaren emang nggak putus. Sejak pulang dari McD, gue sama dia teleponan sama chatting. Komunikasi ini sih, yang bikin gue agak tenang menjelang saat-saat seperti ini. Walaupun dia calon istri gue, dia tetap punya posisi sahabat yang gue butuhkan di saat-saat seperti ini. Pas lagi nunggu acara ini dimulai, gue beneran salting banget. Ancur dah, pokoknya. Nggak ada tuh, gue yang santai, cuek, ngelawak—apalah pokoknya yang selama ini orang lihat kalo gue lagi biasa aja.
Gue yang sekarang sama aja kayaknya dengan semua calon pengantin laki-laki di dunia ini. Akhirnya nggak berapa lama kemudian, Ayu udah datang dan ijab kabul pun bersiap untuk dimulai.
Semua udah di sana dan udah siap. Tapi saksinya—Om Ayu, belum datang juga. Agak panik sih gue pas tahu tentang hal itu, kami pun harus nunggu kira-kira lima belas menit. Gue udah mondar- mandir nggak keruan, disuruh tenang juga nggak bisa.
Deg- degan parah. Padahal gue tahu, ini Ayu lho, yang gue nikahin. Sahabat gue sendiri. Yang udah kenal sejak sama-sama cupu sampai sekarang.
Yang ngeband bareng. Yang nyuruh-nyuruh gue tiap dia di lokasi syuting, nyuruh gue nganter makanan, dan belanjain macem-macem buat dia. Tapi walaupun begitu, ya tetap aja sih, sekarang beda.
Ayu yang gue sebutin tadi, adalah Ayu yang mau gue nikahin dan 43 pustaka-indo. Yang namanya bakal gue sebut dalam ijab kabul di depan bapaknya dan semua yang sekarang datang. Selain mengikuti eksul band, Ditto juga mengikuti ekskul Futsal. Saat itu, Ayudia sudah mulai disibukkan dengan syuting. Sehingga sepulang sekolah ia harus bergegas menuju lokasi syuting. Tahun ajaran baru dimulai, penjurusan sudah mulai ditentukan.
Ucapan itulah yang membuatnya terjaga di tengah malam seperti ini. Ditto tanpa sadar tersenyum, ada bagian hatinya yang menghangat tiap mengingat tradisi kecil mereka seperti saat ini. Ditto langsung tertawa begitu mendengar doa dari sahabatnya melalui sambungan telepon ini. Tak lama, ia menguap pelan dan terengar jelas oleh Ditto. Besok jangan lupa traktirannya.
Sambungan telepon tersebut langsung terputus begitu saja.
0コメント